INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Menjadi Suami Yang Tak Aib Membantu Istri

SUAMI membantu istri, sudah seharusnya dalam pedoman Islam, sehingga terjadi kehidupan yang saling melengkapi, saling membantu dan tentu saja saling menghargai.
Itulah mengapa, dalam peradaban Islam, tidak dikenal istilah kesetaraan gender. Sebab, perbedaan memang mewujud dalam keharmonisan.
Aisyah binti Abu Bakar Radhiallahu anhumma pernah ditanya oleh salah seorang sahabat. “Apakah yang Nabi lakukan dikala berada di rumah bersama istrinya?” Ia menjawab, “Dahulu Nabi biasa membantu pekerjaan rumah keluarganya.” (HR. Bukhari).
Membantu pekerjaan rumah keluarganya tentu saja mencakup hal apa saja yang boleh jadi istri butuh bantuan. Contoh sederhana ibarat mencuci pakaian, menjemurkan pakaian, hingga pada tahap paling kecil, menyapu rumah dan memandikan anak-anak.
Hal ini terkonfirmasi dalam hadits yang lain. Suatu waktu, Urwah bertanya kepada bibinya Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau ia bersamamu (di rumahmu)?”

Aisyah berkata, “Ia melaksanakan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian kalau sedang membantu istrinya, ia memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya & mengangkat air di ember.” (HR. Ibnu Hibban).
Jika seorang suami bisa meneladani hal ini kala berada di rumah bersama istrinya, maka bukan saja kepribadian Muslimnya akan semakin kuat, secara psikologis, cinta istri kepada sang suami juga akan sangat meningkat, sehingga istri akan mencicipi ketentraman luar biasa.
Dalam situasi ibarat itu, maka keluarga sakinah akan semakin erat dalam pencapaian, sehingga keluarga benar-benar menjadi daerah dimana kepercayaan dan taqwa terus tersuburkan, sebagaimana Nabi sampaikan bahwa “Rumahku Surgaku.”
Tetapi, apakah bentuk membantu istri ini sebatas apa yang tersurat di dalam hadits-hadits di atas? Tentu saja tidak, tetapi menyeluruh, dimana dimensi tersirat yang terkandung harus terus digali dan diupayakan para suami kepada istri atau bapak kepada anak mencakup banyak hal.
Sebagai contoh, kala istri memasuki masa ngidam, dimana mual dan muntah kerap menerpanya, suami harus hadir di sisinya untuk menguatkan moril dan menghiburnya. Bahkan, dalam momen-momen ibarat itu ungkapan lisan bahwa sang suami menyayangi istri sangat memperlihatkan efek nyata bagi psikologi istri.
Pada masa istri gres melahirkan hingga anak berumur enam bulan seorang suami juga harus siap begadang membantu kiprah istri menenangkan bayi. Mulai dari menimang-nimang hingga mengganti popok bayinya di tengah malam.

Jelas ini pekerjaan tidak mudah, terlebih bagi ayah muda yang gres dikaruniai bayi. Seorang sahabat bercerita wacana pengalamannya membantu istri ngurus bayi di malam hari. “Yang seruunya buat mata perih kayak kena gas air mata waktu ganti popok jam 1-4 malaam,” ucapnya sembari tertawa senang lantaran ia bisa melalui masa tersebut dengan sukses.
Bahkan para suami tak perlu merasa risih membantu aktivitas istri, tatkala pasangannya itu memang dalam keadaan padat pekerjaan. Bahkan sekedar mencuci piring, memasak air, menciptakan telor dadar, sudah ikut meringankan bebannya.
Namun demikian, Islam tetap mengatur bagaimana semua bisa berjalan secara proporsional. Jangan hingga atas dalih membantu istri, ibadah terhambat.
“Rasulullah, biasa melayani keperluan keluarganya, lantas dikala waktu sholat tiba, dia pergi meninggalkan sholat.“ (HR. Bukhari).
Sederhananya, istri juga harus ikut membantu mengingatkan suami untuk tidak teledor dalam ibadah. Misalnya, kala suami bangkit di tengah malam lantaran membantu mengurus bayi dan kala adzan Shubuh tiba, lantaran kelelahan suami tidak terbangun, sangat baik kalau istri membantunya untuk bangkit dan bersegera mendirikan sholat.
Di sini sanggup diambil catatan penting bahwa sekalipun Rasulullah meneladankan dan menganjurkan kaum bapak membantu pekerjaan istri di rumah, tidak berarti kemudian istri berharap apalagi mengandalkan pertolongan suami, lantaran bagaimanapun suami punya kiprah dan kewajiban yang ia tak boleh lalai dalam menjalankannya, terutama dalam hal urusan sholat.
Selain itu, kondisi setiap suami tidak sama. Ada suami yang memang cakap dalam pekerjaan-pekerjaan teknis, sehingga problem apapun di dalam rumah, ibarat plafon rusak, genting rumah tergeser, bisa ditanganinya sendiri. Tetapi, ada juga suami yang tidak mempunyai kapasitas ibarat itu, maka tidak sepatutnya seorang istri menuntut pertolongan ibarat mereka yang dikaruniai Allah kemampuan tersebut.
Di sinilah suami istri itu disebut berpasangan, lantaran yang istri tidak mampu, suami hadir membantu. Dan, apa yang suami tidak miliki, istri tak sibuk menuntut dan menggerutu karenanya.
Dan, yang tidak kalah penting yaitu bagaimana kalau keduanya fokus pada kewajiban masing-masing, suami sibuk bagiamana bisa membantu istri, dan istri sibuk bagaimana taat dan hormat kepada sang suami, pasti kehidupan senang dunia-akhirat benar-benar bisa dialami di dalam rumah sendiri.
Catatan terakhir bagi para suami alias bapak, Rasulullah berpesan, “Sebaik-baik kalian yaitu yang terbaik kepada keluarganya dan saya yaitu orang yang paling baik di antara kalian bagi keluargaku.” (HR. Abu Dawud).
Membantu pekerjaan istri bukanlah hal memalukan dan menurunkan wibawa suami.  Sebaliknya makin menguatkan ikatan dan romantisme. Semoga Allah bimbing kita (para suami) sanggup berbuat baik kepada keluarga. Wallahu a’lam.*
Rep: Imam Nawawi
Editor: Cholis Akbar

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel