INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Buya Hamka Bukan “Politisi Busuk”

 Oleh: Dr. Adian Husaini

SETELAH Basuki Thajaja Purnama (Ahok) bicara soal pembodohan dan pembohongan menggunakan surat al-Maidah:51, sekarang giliran adiknya mengungkap soal “politisi busuk”.  Saat membacakan Nota Keberatan atas dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum, Selasa (13/12/2016), pengacara Basuki, Fifi Lety Indra menyebut adanya tugas politikus busuk dalam masalah yang menyeret Basuki Tjahaya Purnama tersebut.
Fifi yang juga adik Basuki,  menyatakan: “Selalu ada ayat yang sama dipakai politisi busuk untuk memecah belah rakyat dengan tujuan memuluskan jalan untuk meraih puncak kekuasaan oleh politisi busuk yang kerasukan roh kolonialisme,” ujar Fifi.
Menurut Fifi, ayat tersebut sengaja disebarkan politikus busuk alasannya tidak sanggup bersaing dengan Basuki. Terutama terkait visi misi, kegiatan dan integritas yang ada dalam diri Basuki. “Politisi busuk itu berlindung di balik ayat-ayat suci itu biar rakyat dengan konsep seiman sanggup memilihnya,” tandas Fifi. (http://news.liputan6.com/read/2676745/pengacara-ungkap-peran-politikus-busuk-di-balik-kasus-ahok).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘busuk’ bermakna: rusak dan berbau tidak sedap (tentang buah, daging, dan sebagainya), berbau tidak sedap (tentang bangkai dan sebagainya). Untuk pemimpin, kata ‘busuk’ bermakna:  buruk; jelek; tidak menyenangkan. Jadi, politisi busuk ialah “politisi yang buruk, jelek, atau tidak menyenangkan.
Siapakah yang dimaksud sebagai “politisi busuk” oleh si Fifi, pengacara Basuki tersebut? Fifi tidak menjelaskannya. Tetapi, “kriteria politisi busuk”  yang dipakai pengacara Basuki itu cukup jelas. Yakni, politisi itu menggunakan ayat-ayat suci al-Quran biar rakyat sanggup memilihnya alasannya konsep seiman.
Lalu, apakah seorang politisi muslim yang menggunakan QS al-Maidah:51 biar menentukan pemimpin yang seiman, sanggup dikatakan sebagai “politisi busuk”? Marilah kita telaah kembali makna QS al-Maidah ayat 51: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kau mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka ialah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka bekerjsama ia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Ulama terkemuka, Buya Hamka, dalam Kitab Tafsirnya – Tafsir al-Azhar —  menguraikan kandungan makna ayat tersebut: “Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya, sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah menentukan jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah menentukan musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha, sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu sanggup bahagia pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi bangkrut alasannya kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian.”
 Tafsir al-Azhar itu ditulis pada awal tahun 1960-an. Selama puluhan tahun, tidak ada insan di bumi Indonesia yang menuduh Buya Hamka telah membohongi atau membodohi umat Islam ‘pake’ surat al-Maidah:51.  Maka, kita patut bertanya, kalau ada politisi muslim yang memahami QS al-Maidah:51 menyerupai dijelaskan oleh Buya Hamka tersebut, apakah ia sanggup dikatakan sebagai “politisi busuk”?
Konsekuensi berikutnya, dari tuduhan itu, apakah Buya Hamka dan para ulama lain yang mempunyai pemahaman yang sama terhadap QS al-Maidah:51 juga dikatakan sebagai “ulama busuk”?   Lalu, bagaimana kalau ada pengacara yang menggunakan ayat-ayat al-Quran untuk memenangkan perkaranya? Apakah ia juga disebut “pengacara busuk”?
Tampak bahwa tuduhan pengacara Basuki itu sangat melampaui batas kepatutan. Bahkan, dalam dalam sistem demokrasi menyerupai di AS, dukung-mendukung calon presiden dengan alasan keagamaan pun sangat lazim dilakukan. Situs http://www.rightwingwatch.org, misalnya, mengungkapkan sejumlah alasan keagamaan sebagian kalangan Nasrani dalam mendukung Donalt Trump. Misalnya, Trump dianggap sebagai cara Tuhan untuk memuluskan jalan bagi Kedatangan Kristus Kedua kalinya (The Second Coming of Christ).
Alasan lain pemberian terhadap Trump, kalangan Nasrani Kanan ini menilai,  “Trump would make America friendlier to Israel” dan “Trump will make Christianity more powerful”.
Itulah konsekuensi logis dari sistem demokrasi, yang oleh Aristotle (384-322 BC), disebut sebagai bentuk pemerintahan buruk, menyerupai tirani dan oligarkhi. Tiga bentuk pemerintahan yang baik, menurutnya, ialah monarkhi, aristokrasi, dan polity.  Sebelum kala ke-18, demokrasi bukanlah sistem yang dipilih umat manusia. Sistem ini ditolak di era Yunani dan Romawi dan hampir semua filosof politik menolaknya. (James A. Gould and Willis H. Truit (ed.), Political Ideologies, (New York:Macmillan Publishing, 1973).
Buya HAMKA Tidak Membodohi Kita [2]
Jadi, dalam kontestasi politik yang terbuka di banyak sekali kawasan menyerupai dikala ini, penggunaan dalil-dalil agama sepatutnya dipandang sebagai hal biasa. Yang penting jangan dimanipulasi maknanya. Lucunya, dalam persidangan perdana Basuki Tjahaya Pernama, para pengacara Basuki pun berlomba-lomba menggunakan beberapa dalil al-Quran dan dongeng di masa Nabi Muhammad saw – meskipun beberapa kali tampak belepotan melafalkan ungkapan-ungkapan tertentu.
Silakan saja pendukung Basuki Tjahaja Purnama menggunakan ayat-ayat Injil untuk mendukung calon beragama Kristen.  Itu lebih jujur, lebih fair, sesuai dengan agamanya.  Begitu juga sangat sah kalau seorang politisi muslim atau seorang kyai mengajak umat Islam untuk menentukan pemimpin yang seiman, berdasarkan pemahamannya terhadap QS al-Maidah:51, dan ayat-ayat al-Quran lainnya.  Pengacara Basuki tidak berhak melarang kaum muslim berpolitik berdasarkan ayat-ayat al-Quran. Apalagi, menuduh mereka sebagai “politisi busuk”.
Buya Hamka, disamping seorang ulama, juga dikenal sebagai politisi muslim terkemuka yang pernah menjadi anggota Majelis Konstituante. Apakah alasannya pemahamannya yang semacam itu terhadap QS al-Maidah:51 kemudian dituduh sebagai “politisi busuk?” Buya Hamka terperinci bukan “politisi busuk”. Beliau ulama dan politisi cerdas dan beradab.
‘Bau busuk’
Sepatutnya, sebagai pengikut Kristen, Basuki Tjahaja Purnama tidak perlu memasuki wilayah Tafsir al-Quran. Apalagi, hingga menuduh ada yang membodohi dan membohongi masyarakat ‘pake’ al-Maidah:51. Ia harusnya gunakan saja ayat-ayat Bibel, sesuai dengan keyakinan agamanya.
Setelah melaksanakan kajian dan penelitian terhadap ucapan Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016, maka pada 11 Oktober 2016, MUI secara resmi menyatakan, bahwa Basuki telah telah menghina al-Quran dan menghina ulama-ulama Islam.
Inilah ucapan Basuki Tjahaja Purnama yang juga dikutip dalam pernyataan resmi MUI: “… Kaprikornus jangan percaya sama orang, kan sanggup aja dalam hati kecil bapak ibu nggak sanggup pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai surat al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak sanggup pilih nih alasannya saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya..”
Apa para ulama di MUI itu kemudian dituduh sebagai “ulama busuk” alasannya merugikan karir politik Basuki Tjahaja Purnama?
Dalam ucapannya yang disiarkan secara eksklusif oleh stasiun TV nasional, adik Basuki Tjahaja Purnama berulang kali menyebut kata “busuk”, “busuk” dan “busuk”. Entah kenapa, sebagai perempuan, ia suka menggunakan istilah itu. Apakah tidak ada kata lain yang sedikit lebih halus?
Padahal, publik di Indonesia pernah disuguhi tontonan wawancara Basuki Tjahaja Purnama yang sangat jorok ucapannya di satu stasiun TV.  Tayangan itu berbuntut kepada jatuhnya hukuman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, berupa hukuman administratif Penghentian Sementara Segmen Wawancara pada kegiatan jurnalistik “Kompas Petang”.
Surat Sanksi Administratif disampaikan KPI Pusat ke Kompas TV, Senin 23 Maret 2015.  Berdasarkan nomor surat 225/K/KPI/3/15 yang disiarkan di website resmi KPI, kegiatan yang disiarkan secara eksklusif pada Selasa, 17 Maret 2015 pukul 18.18 WIB itu dikategorikan sebagai pelanggaran norma kesopanan, proteksi bawah umur dan remaja, pelarangan ungkapan garang dan makian. Serta melanggar prinsip-prinsip jurnalistik. “Tayangan yang memuat ungkapan atau perkataan kasar/kotor demikian dihentikan untuk ditampilkan, alasannya sangat tidak santun, merendahkan martabat manusia,
dan sanggup mengakibatkan ketidaknyamanan bagi masyarakat serta rentan untuk ditiru oleh khalayak, terutama bawah umur dan remaja,” demikian pernyataan KPI.
Berikut perkataan garang dan kotor Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang digarisbawahi KPI Pusat dikala wawancara eksklusif di Kompas TV;
 “…istri saya mau nerima CSR untuk main di kota tua. Lu buktiin aja nenek lu sialan bedebah gua bilang. Lu buktiin aja. Gue juga udah keki”.
“…lu lawan bini gua kalah lu mati aja lu. Kasih taik aja muka lu”.
“…kalau betul ada suap 12,7 triliun kenapa si DPRD membatalkan lapor ke Bareskrim? Kok goblok sekali lu orang? …kalau ada bukti memang nyuap apa lu laporin dong bego. …bego banget lu gitu lho. …sementara ada bukti gua mau nyuap lu 12,7 triliun, kok lu nggak berani laporin? Gua kuatir lu kemaluan lu punya ga nih? …eh dibalikin ini yang buat suap. Sialan nggak tuh? Makanya gua bilang panggil gua tiba ke angket. Kapan lu panggil biar gua jelasin semua.
Gua bukain lu taik-taik semua itu menyerupai apa. …nggak apa-apa, biar orang tau emang taik gua bilang…. …kalau bukan taik apa? Kotoran. Silakan. Emang taik namanya kok. Emang taik, mau bilang apa. …TV jangan pernah wawancara gua live kalo nggak suka kata gua taik segala macem. Itu bodohnya anda mau live dengan saya…”
Itulah kata-kata ‘busuk’ sang kakak, Basuki Tjahaja Purnama yang bacin busuknya terlanjur  menyengat kemana-mana.  Kini, meski berlangsung lancar, patut disayangkan, sidang pertama masalah penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama pun dikotori dengan aroma kata-kata tak sedap: “politisi busuk”.
Kepada yang suka berkata jorok dan bau, kita hanya sanggup berpesan: “Silakan dinikmati sendiri baunya!”*/Depok, 13 Desember 2016
Penulis guru Pesantren at-Taqwa Depok-Jawa Barat

sumber : https://lovegodfearnothing.blogspot.com//search?q=

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel