INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Hiasi Diri Kita Dengan Sifat Malu

IMAN itu mempunyai lebih dari 60 cabang,  dan yang termasuk salah satu cabang dari īmân ialah sifat hayâ’ (malu). Maknanya, kalau seseorang itu mempunyai malu, īmân-nya berada di dalam tahap yang selamat. Karena orang yang tidak mempunyai sifat malu, mereka akan karam dalam setiap perbuatan keji dan munkar.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat Imran bin Hushain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
إِنَّ الْحَيَاءَ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sesungguhnya malu itu tidak mendatangkan kecuali kebaikan” .  Di dalam hadits riwayat Muslim, Beliau juga bersabda; الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu semuanya baik.”

Kuatkan Imanmu, Peliharalah Rasa Malu

Dari Abu Hurairah Radhiyallohu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً, فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ, وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ, وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman itu ada tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian cabang. Maka iman yang paling utama ialah ucapan ‘Laa Ilaaha Illallaah’ dan yang paling rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu ialah cabang dari Iman.” (HR: Muslim)
Dalam sebuah riwayat diceritakan  Nabi Shallahu “Alaihi Wassallam melewati seorang pria yang sedang menasehati saudaranya dalam masalah malu kemudian dia bersabda, “Biarkan dia, alasannya sesungguhnya malu itu bab dari iman.”
Hadits-hadits diatas menawarkan bahwa malu ialah adab yang utama. Tentang sifat malu, Ibnul Qoyyim mengatakan; Malu (Al-Hayaa’) berasal dari akar kata Al-Hayaat (hidup). Sejauhmana hidupnya hati maka sejauh itu pula kekuatan sifat malunya. Sedikitnya malu ialah bab dari matinya hati dan ruh. Ketika hati itu hidup pasti akan tepat sifat malu. Hakikat malu ialah meninggalkan masalah yang jelek dan meninggalkan kebiasaan menyia-nyiakan kewajiban bagi yang empunya hak.
Diantara bentuk malu yang pertama ialah malunya seorang hamba kepada Tuhannya. Yang kedua ialah malunya seorang hamba kepada sesama. Yaitu  Adapun malu kepada Allah, Rasulullah  telah menjelaskan di dalam hadit yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi secara marfu’ bahwa dia pernah bersabda;
« استحيوا من الله حق الحياء » . قالوا: إنا نستحيي يا رسول الله. قال: « ليس ذلكم. ولكن من استحيا من الله حق الحياء فليحفظ الرأس وما وعى، وليحفظ البطن وما حوى، وليذكر الموت والبلى. ومن أراد الآخرة ترك زينة الدنيا، فمن فعل ذلك فقد استحيا من الله حق الحياء »
“Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya” Para sahabat berkata; “Sungguh kami malu (kepada-Nya) wahai Rasulullah” Beliau bersabda; “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebetulnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala; menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut; menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Dan hendaklah ia mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, pasti ia meninggalkan tambahan hidup di dunia dan lebih mementingkan darul abadi dari pada dunia. Barangsiapa yang melaksanakan hal tersebut, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.”
Dalam hadits diatas Rasulullah telah menjelaskan diantara tanda malu kepada Allah yaitu dengan menjaga anggota tubuh dari maksiat kepada-Nya, dan juga dengan banyak mengingat mati dan tidak panjang angan-angan terhadap dunia, tidak karam dan memperturutkan syahwat sehingga melalaikan akhirat. Dalam sebuah atsar diakatakan;
من استحيا من الله استحيا الله تعالى منه
“Barangsiapa yang malu kepada Allah, Allah pun malu kepadanya.
Malunya Allah kepada hamba ialah malu bila hambanya berdoa dan memohon kepada-Nya untuk tidak mengabulkannya, dan malu untuk mengadzab hambanya apabia hamba tersebut berbuat maksiat kepadanya.
Orang yang masih mempunyai rasa malu kepada sesama pastinya ia akan menjauhkan diri dari adab dan sikap yang tercela, menjauhkan diri dari berkata kotor, tidak besar hati dengan perbuatan maksiat dan sebagainya, malu bila menampakkan aibnya kepada orang lain dan menghindarkan diri dari adab yang tercela. Benarlah sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam yang mengatakan;
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Bila engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR. Tirmidzi)
Dan malu kepada Allah ialah dengan menjauhkan diri dari perkara-perkara yang dihentikan oleh Allah baik saat ada orang maupun dikala sendiri. Malu kepada Allah menyerupai ini ialah malu yang didapat melalui proses ma’rifatullah (mengenal Allah), mengenal keagungan-Nya, mencicipi kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, merasa diawasi oleh-Nya dan kesadaran bahwa Allah selalu mengetahui intel yang berkhianat dan apa yang tersimpan di dalam hati manusia. Malu menyerupai ini merupakan derajat tertinggi dari suatu iman, bahkan malu ialah derajat ihasan yang paling tinggi. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadits;
الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsan ialah engkau menyembah Allah seperti engkau melihat-Nya, kalau engkau tidak sanggup melihat-Nya maka sesungguhnya Ia melihat-Mu.
Ibnu Abbas berkata;
الَحيَاءُ وَالإِيْمَانُ فِي قَرْنٍ، فَإِذَا نَزَعَ الْحَيَاءُ تَبِعَه ُالآخر
“Iman dan malu ialah satu kesatuan. Jika malu telah lepas maka akan diikuti iman.
Hadits dan atsar diatas menjelaskan bahwa orang yang telah hilang sifat malunya maka tidak ada lagi yang menghalanginya untuk berbuat tercela, tidak sungkan melaksanakan yang haram, tidak takut terhadap dosa, tidak malu berkata kotor. Oleh alasannya itu saat sifat malu semakin terkikis di zaman kini maka semakin tumbuh subur pula banyak sekali kemungkaran, aurat dengan besar hati diperlihatkan, terang-terangan dalam berbuat keji dan memandang baik perkara-perkara yang jelek dan tercela. Wallaahul Musta’aan.*/Imron Mahmud
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

https://lovegodfearnothing.blogspot.com//search?q=

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel