INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Tujuan ‘Hidup’ Setelah Mati

ISLAM yang dianugrahkan Allah Subhanahu Wata’ala yaitu cahaya bagi hati, energi bagi pikiran yang akan menginisiasi banyak sekali solusi semesta permasalahan. Bukan hanya bagi internal mayarakat muslim, non-muslim, bahkan kecoa, demit dan terumbu karang di dasar lautan. Itulah rahmatan lil ‘alamin.

Seorang kaya bermasalah dengan hartanya. Padahal hartanya banyak. Sebanyak air garam di lautan yang tak kunjung menghilangkan dahaganya. Si miskin pun galau. Padahal belum tentu esok ia tidak makan, tapi rasa takut tidak makan sebulan ke depan membuatnya mati sebelum waktunya. Bila kaya yaitu masalah, apakah miskin solusinya? Dan jikalau dianggap miskin yaitu masalah, apakah kaya solusinya? Padahal konkret keduanya yaitu mas’alah (baca: pertanyaan) yang membutuhkan jawaban.

Salah satu problem fundamental masyarakat muslim remaja ini, paling tidak ini sebatas pandangan cetek saya, mirip-mirip dengan nasib si kaya dan si miskin di atas. Tujuan hidup kita tidak lagi men-satu kepada Maha Satu. Jikapun terpaksa Dia disertakan, maka diposisikan sebagai kerikil loncatan untuk menggapai bermacam-macam tujuan yang remeh-temeh. Tujuannya karir melonjak, kerikil loncatannya shalat. Maunya harta berlipat, gandakan dengan sadaqah!

Anda Berhak Punya Kehidupan, Berbahagialah!
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, pernah ada orang-orang miskin tiba menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “orang-orang kaya itu pergi membawa derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka puasa sebagaimana kami berpuasa. Namun mereka mempunyai kelebihan harta sehingga sanggup berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Maukah kalian saya ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya sanggup terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melaksanakan hal yang sama menyerupai yang kalian lakukan. Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir di setiap simpulan shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.”

Betapa galaunya sekumpulan sobat miskin itu. Galau dibakar api cemburu. Mereka cemburu melihat orang kaya yang tampaknya sanggup lebih mesra dengan Tuhan bermodal sadaqah. Setelah mendengar klarifikasi Rasulullah tersebut, bergemberilah mereka. Setelah tahu ternyata orang kaya tidak lebih mesra dengan Allah ketimbang orang miskin.

Masalah mereka bukan miskin. Tujuan mereka bukan kaya. Kaya dan miskin sejatinya yaitu wasilah. Tujuannya tiada lain ialah Allah. Tujuan puncak dari segala sub-tujuan. Allahu ghayatuna (Allah Tujuan Kami). Jikapun musti kaya, maksudnya menggembirakan Allah. Haruspun menjadi miskin sepanjang hayat, maka miskinnya untuk Allah. Berkuasa, demi Allah. Menjadi rakyat jelata, untuk Allah.

Dengan kesadaran wasilah dan tujuan itulah masyarakat muslim di periode yang Allah nobatkan sebagai khoirul qurun, menjadi terbaik di periode yang baik. Berekonomi, berpolitik, bersosial, dan melangsungkan segala rupa wajah kehidupan ini. Sampailah mereka pada gilang-gemilang pencapaian. Begitu susah Umar bin Khattab mencari mustahiq untuk dizakati. Karena negerinya betul-betul gemah ripah loh jinawi.

Inilah salah satu problem fundamental kita. Masyarakat muslim kehilangan tujuannya. Dikiranya terminal, padahal hanya halte bus. Wajar saja kalau nyasar. Bekal habis. Kelaparan. Bermalam di emperan toko. Ketemu penjahat. Dan begitu seterusnya. Terpaksa menghadapi bermacam-macam problem akhir dari kesalahan fatal menganggap halte yaitu terminal. Dikira kaya dan kuasa yaitu tujuan, pantas saja sepanjang hidup menyerupai mengejar bayangan.

Padahal Allah Berfirman;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan insan kecuali semoga mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 56). Inilah tujuan utama kita hidup.

Umat muslim harus kembali kepada tujuannya, Allah. Dan diantara garis penghambaan tersebut yaitu menjalankan perintah untuk menjadi khalifah. Memakmurkan rumah daerah kita tinggal dengan segala konvigurasinya. Terserah Allah soal pembagian kiprah kekhilafahan itu. Ada yang berkhalifah dalam wujud kepemimpinan. Lainnya berkhalifah dalam wujud kerakyatan. Sebagian berkhalifah dengan ilmunya, sisanya berkhalifah dengan hartanya. Dan begitu seterusnya dalam semua tahapan struktur terbesar hingga paling kecil.

Kaidah Kehidupan: Perilaku Lingkungan Cermin Perilaku Kita
Masyarakat muslim saatnya sadar, Allah bukan kerikil loncatan. Melainkan pucak dari segala hidup setelah kematian.

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Dan Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholat dan sembelihanku, hidup dan matiku, yaitu untuk Allah Rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya, dengan itulah saya diperintahkan, dan saya termasuk orang yang pertama-tama berserah diri (kepada Allah).” (QS. al-An’am [6]: 162-163).*/Muhammad Rizqi Utama



 Sumber : https://lovegodfearnothing.blogspot.com//search?q=

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel